Zionisme dan Sekularisme Berbaju Agama


PDF Cetak E-mail


Gerakan Zionisme bukanlah murni gerakan keagamaan Yahudi. Zionisme merupakan gerakan nasionalisme, bermotif duniawi yang menginginkan bangsa Yahudi memiliki tanah air sendiri dengan merampas

Mungkin dalam benak kita muncul pertanyaan, apa sebenarnya yang diinginkan Zionis-Israel sampai melakukan pembantaian secara membabi-buta rakyat sipil tak berdosa di Gaza dan Libanon? Apa sebenarnya dasar keyakinan dan ideologis yang mendasari tindakan mereka? Betulkan ini seruan agama (Yahudi) yang mereka anut? Bukankah hampir bisa dipastikan tidak ada agama yang sengaja mendorong pemeluknya melakukan pengrusakan dan kekerasan? Bila kita tidak mengetahui apa sesungguhnya ideologi yang melatarbelakangi munculnya Israel (baca: Zionisme) kita akan dengan menggeneralisasi bahwa aksi-aksi itu dilarbelakangi oleh perintah agama (Yahudi). Padahal, sesungguhnya agama hanyalah kedok yang merekai pakai sebagai alat legitimasi. Di dalamnya justru tersimpan keyakinan materialistik anti-agama. Tulisan ini mencoba memotret masalah tersebut.

Akar Ideologis Gerakan Zionisme
Zionisme adalah salah satu ?mazhab' dalam agama Yahudi. Istilah Zionisme dinisbahkan kepada sebuah bukit di Yerussalem yang bernama "Zion," tapi kemudian justru nama "Zion" itu identik dengan Yerussalem sendiri. Nama Zion ini menjadi sangat penting dalam sistem teologi Yahudi karena disebutkan dalam Mazmur 9:12, "Bermazmurlah bagi Tuhan yang bersemayan di Zion." Zion dianggap sebagai tempat suci tempat bersemayam Tuhan. Masih dalam Mazmur 137:1 juga disebutkan, "Di tepi sungai Bebel, di sanalah kita duduk sambil menangis apabila kita melihat Sion."
Ayat ini menjadi dasar kerinduan dan semangat untuk kembali ke Sion (Yerussalem), saat mereka diasingkan ke Babilonia. Dalam Yesaya 52:1-2 bahkan dengan jelas ada dorongan untuk kembali ke sana: "Terjagalah, terjagalah! Kenakanlah kekuatanmu seperti pakaian, hai Sion! Kenakanlah pakaian kehormatanmu, hai Yerussalem kota yang kudus! Sebab tak seorang pun yang tak bersunat atau yang najis akan masuk ke dalammu. Kebaskanlah debu dari padamu, bangunlah hai Yerussalem yang tertawan. Tanggalkanlah ikatan-ikatan dari lehermu hai puteri Sion yang tertawan!
Ayat-ayat itulah yang dijadikan dasar oleh kelompok yang menamakan diri "Zionisme" untuk membangun keyakinan bahwa umat Yahudi harus kembali menduduki Zion (Yerussalem) dengan cara apa saja, termasuk dengan cara kekerasan. Alasan doktrin itu pula yang dijadikan topeng untuk menarik dukungan dari orang-orang Yahudi di seluruh dunia untuk mendukung gerakan ini.
Padahal, seperti yang akan kita lihat dalam penjelasan berikut, doktrin itu tidak harus selalu diartikan sebagai keharusan "merebut" Yerussalem dari tangan orang di luar Yahudi. Doktrin itu sebetulnya hanya topeng untuk membngkus gerakan nasionalisme yang dipelopori orang-orang Yahudi yang sudah terpengari pemikiran-pemikiran secular seperti Theodor Herzl.
Jadi, harus dicatat bahwa sejak awal didirikan sampai saat ini, gerakan Zionisme bukanlah murni gerakan keagamaan Yahudi. Sampai saat ini, Zionisme tetap merupakan gerakan nasionalisme, sebuah gerakan bermotif duniawi yang menginginkan bangsa Yahudi memiliki tanah air sendiri. Hanya saja, untuk memperkuat posisi ini, mereka menggunakan doktrin-doktrin agama Yahudi yang seringkali dipaksakan agar sesuai dengan keinginan mereka. Oleh sebab itu, tidak heran kalau gerakan Zionisme ini mendapat tentangan juga dari kalangan agamawan Yahudi sendiri, selain dari orang-orang Arab Israel yang merasa hak-hak mereka dirampas.
Tentangan antara lain muncul dari kaum Yahudi ultraortodoks. Mereka berkeberatan terhadap aspek politik gerakan ini. Mereka percaya bahwa kebali ke Zion (Tanah yang dijanjikan) harus merupakan takdir Tuhan, bukan kehendak duniawi. Di pihak lain, kelompok sosialis dan komunis menganggap Zionisme sebagai gerakan reaksioner kaum borjuis. Para rabbi Yahudi dan pengikutnya menentang zionisme juga karena karakter nasionalnya. Karena percaya bahwa Yudaisme adalah agama dan bukan kebangsaan, mereka cenderung menolak konsep politik Zionisme.
Di Inggris dua organisasi Yahudi, Badan Perwakilan Yahudi Inggris dan Asosiasi Inggris-Yahudi, menentang Zionisme juga atas dasar kepercayaan bahwa Yudaisme adalah agama, bukan bangsa seperti klaim para Zionis. Oleh sebab itu, buat mereka tidak perlu orang-orang Yahudi memiliki negara nasional sendiri.
Tentangan yang sama juga datang dari Komisi Yahudi di Amerika pimpinan Jacob H. Schiff, Louis Marshall, serta Mayer Sulzberger. Protes keras sering mereka lancarkan menentang keinginan-keinginan politik kaum Zionis. Jelas bahwa munculnya Zionisme bukanlah gerakan keagamaan, melainkan gerakan nasionalisme yang sangat dipengaruhi oleh gaung nasinalisme yang pada masa itu tengah digandrungi di seluruh dunia. Ini juga menandakan bahwa Zionisme juga tidak lebih daripada proyek borjuasi (baca: kapitalisme) yang ingin mencaplok apa saja yang menghalanginya. Dan ini juga merupakan salah satu proyek pembaratan dunia Islam yang terus dilancarkan setelah kekalahan Eropa oleh umat Islam. Kita akan melihat kenyataan ini dalam paparan singkat mengenai sejarah awal gerakan zionisme berikut.

Pertumbuhan Zionisme Awal
koresponden Paris majalah Neue Freie Presse Wina, Dr. Theodor Herzl menerbitkan majalah mingguan Die Welt sebagai sarana resmi para Zionis. Pada tahun yang sama, atas inisitifnya, terselenggara Kongres Zionis pertama yang diselenggrakannya di Basel, Swis. Kongres ini menghasilkan resolusi tentang Palestina yang harus menjadi pemukiman bangsa Yahudi dan didirikannya Organisasi Zionis Dunia. Herzl sendiri terpilih menjadi ketuanya. Inilah awal gerakan Zionisme secara mondial.
Untuk mewujudkan impian mereka "kembali ke tanah yang dijanjikan" banyak cara yang mereka lakukan. Ketika Turki Usmani masih menguasai Palestina, berulang-ulang mereka meminta izin kepada sultan Abdul Hamid agar mereka boleh membeli tanah yang akan disiapkan menjadi pemukiman bangsa Yahudi. Namun, sampai akhir kekuasaannya, Sultan tidak pernah mengizinkan orang-orang Yahudi memiliki tanah-tanah di Palestina.
Baru setelah Turki Usmani jatuh ke tangan Inggris pasca-Perang Dunia I, kaum Zionis mendapatkan izin untuk membuka pemukiman di Palestina. Mulanya membeli tanah, tapi kemudian banyak yang melakukan penyerobotan tanah-tanah milik rakyat Palestina. Sebelumnya, sekitar tahun 1903, ketika terjadi penganiayaan terhadap Yahudi secara besar-besaran di Rusia, kelompok Zionis melalui Herzl berunding dengan Inggris agar diberi tempat pemukiman baru bagi orang-orang Yahudi yang terusir itu. Inggris menawarkan Uganda, namun dalam Kongres ke-7 Organisasi Zionis Dunia tahun 1904 tawaran itu ditolak. Hanya satu tempat yang mereka inginkan, yaitu Palestina, tempat yang mereka anggap sebagai warisan leluhur mereka yang dijanjikan untuk mereka.
Perjanjian Sykes-Picot (1916) memberikan peluang besar kepada orang-orang Yahudi untuk mendapatkan Palestina. Kesempatan itu semakin terbuka lebar pada saat Deklarasi Balfour (1917) ditandatangani. Dalam Deklarasi itu, Inggris mendukung sepenuhnya niat bangsa Yahudi mendirikan negara Nasional di Palestina. Keberhasilan-keberhasilan diperoleh bangsa Yahudi atas lobi-lobi yang dilakukan oleh kelompok Zionis ini. Sebab, merekalah yang sangat berambisi untuk merebut Palestina dan mendirikan sebuah negara Yahudi di sana.

Rencana Busuk di dalam Kekejaman Israel


Dunia Arab kembali disibukkan dengan ketegangan baru yang dipicu agresi militer darat, laut, dan udara Israel terhadap Lebanon sejak 12 Juli 2006. Alasan Israel melancarkan serangan tersebut untuk membebaskan dua prajuritnya yang diculik Hizbullah. Dalam perkembangan berikutnya, alasan tersebut ternyata kamuflase alias palsu.

Menteri Pertahanan Israel, Amir Perets, secara terbuka mengatakan Israel ingin mengusir Hizbullah dari Lebanon. Bahkan pada 23 Juli 2006 lalu, Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert, mengisyaratkan bahwa krisis di Lebanon akan memakan waktu yang lama, hingga infrastruktur Hizbullah di Lebanon dapat dihancurkan. Israel juga secara tegas menolak usul utusan PBB untuk gencatan senjata dalam waktu segera. Mereka beralasan, penghancuran infrastruktur kelompok 'teroris' tidak mengenal upaya diplomasi. Akibat dari agresi itu ratusan warga Lebanon meninggal, ratusan ribu penduduk lainnya terusir dari kampung halaman.

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa Israel sedemikian beringas melancarkan perang pembersihan tanpa membedakan antara target sipil dan militer? Bahkan infrastruktur Lebanon dari mulai jalan raya, jembatan, bandara, stasiun listrik, pemancar televisi, saluran air, juga mengapa ikut dihancurkan? Seandainya tujuan dari agresi tersebut hanya untuk membebaskan dua prajuritnya, tentu bernegosiasi secara langung jauh akan lebih efektif .

Balas dendam


Israel ibarat seorang yang sedang kehausan menemui sebuah mata air. Penculikan dua tentara Israel dimanfaatkan untuk melampiaskan dendam masa lalu dengan memberangus Lebanon. Seorang pengamat masalah Timteng asal Inggris, Patrick Seal, dalam artikelnya di Surat Kabar Harian Al Hayat terbitan 24 Juli 2006 mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan Israel sedemikian beringas menghadapi Hizbullah. Di antara alasan itu adalah historis konflik Hizbullah-Israel. Kedua kekuatan ini pernah berseteru sebelumnya selama 15 tahun yang berakhir dengan penarikan mundur Israel dari Lebanon selatan tahun 2000. Sehingga bisa dipahami serangan Israel merupakan aksi balas dendam atas kekalahan Israel di masa lalu.

Selain faktor historis konflik kedua pihak, kebiadaban Israel juga dipengaruhi oleh lemahnya reaksi dunia internasional dalam mengecam dan mengupayakan penghentian agresi tersebut secara cepat. Bahkan terkesan masyarakat internasional secara implisit menginginkan Israel sebagai alat implementasi Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) 1559. Resolusi itu isinya antara lain menyangkut perlucutan senjata milisi-milisi sipil di Lebanon, termasuk Hizbullah.

Pemberitaan koran New York Times beberapa waktu lalu makin memperkeruh keadaan. Harian itu memberitakan, Amerika Serikat (AS) mempercepat pengapalan senjata bom berpresisi tinggi ke Israel di saat negara ini melakukan serangan membabi buta ke Lebanon. Apapun alasannya, pengiriman itu jelas menunjukan sikap dukungan buta AS terhadap agresi militer yang mendorong negara zioinis semakin gencar membombardir Lebanon. Kebijakan tersebut juga tidak mendukung bagi upaya penghentian perang.

Sementara kekuatan-kekuatan internasional termasuk PBB dan Uni Eropa tidak mengambil sikap tegas terhadap agresi ini. Hasil pernyataan para pemimpin yang menghadiri pertemuan G-8 di Petersburgh, Rusia, juga cenderung menyalahkan kelompok Hizbullah. Para pejuang Hizbullah dianggap sebagai pemicu terjadinya kekejian Israel di Lebanon.

Bisa dikatakan, terdapat kesepakatan di antara masyarakat internasional mengenai perlunya perlucutan dan netralisasi kelompok Hizbullah di Lebanon. Bahkan Hizbullah dianggap sebagai kelompok yang menjadi penghambat bagi proses demokratisasi di Lebanon. Situasi internasional demikian dimanfaatkan oleh Israel untuk terus menghancurkan Lebanon dengan dalih menumpas Hizbullah.

Mengubah peta


Terkait dengan misi agresi militer tersebut, beberapa pengamat Timur Tengah mengatakan misi agresi yang dilakukan Israel sebenarnya ingin menimbulkan perpecahan internal politik dan perubahan perimbangan kekuatan politik di Lebanon. Diharapkan, dari hancurnya infrastruktur Lebanon yang parah, mayoritas rakyat dan kekuatan-kekuatan politik di Lebanon mengecam eksistensi Hezbullah di Lebanon. Rakyat didorong untuk menuduh Hizbullah sebagai biang kerok kehancuran yang telah mengembalikan Lebanon ke masa 50 tahun yang lalu. Atau paling tidak, agresi ini bisa menjadikan Hizbullah bukan lagi sebagai 'pemain' yang berpengaruh dalam politik dalam negeri di Lebanon.

Dari kalangan umat Islam di beberapa negara Arab termasuk Ikhwanul Muslimin menanggapi agresi Israel sebagai bagian dari upaya bangsa Yahudi untuk mewujudkan eksistensi negeri Israel raya. Aksi ini juga implementasi dari agenda AS untuk mewujudkan The Greater Middle East yang dilontarkan AS sebelum menginvansi Irak.

Oleh karena itu, menurut Ikhwanul Muslimin, tidak ada jalan lain kecuali menghadapi Israel melalui perlawanan bersenjata. Pengamatan Ikhwanul Muslimin ini mungkin ada benarnya menyusul pernyataan Menlu AS, Condoleezza Rice dalam jumpa persnya sebelum meninggalkan Gedung Putih pada 23 Juli 2006. Dia menyebutkan bahwa lawatan kunjungannya ke Israel bukan untuk mendorong gencatan senjata melainkan ingin melihat terwujudnya Timur Tengah baru.

Tidak menutup kemungkinan, agresi Israel tersebut sebenarnya hanya perpanjangan tangan AS untuk mengubah situasi perimbangan kekuatan di negara-negara Timur Tengah agar lebih mendukung kepentingan-kepentingan AS dan Israel di kawasan. Keberhasilan Israel menumpas Hizbullah akan semakin mendorong AS dan Israel untuk menekan negara-negara kawasan yang dikategorikan melawan agar lebih pro dengan agenda dan kepentingan AS kawasan tersebut.

Siapapun yang keluar menjadi pemenang, agresi militer Israel terhadap Lebanon akan berdampak buruk bagi stabilitas keamanan di Timur Tengah secara keseluruhan. Jika Hizbullah berhasil memukul mundur Israel dari Lebanon selatan, hal ini berdampak akan melemahkan kubu pendukung penyelesaian damai konflik Arab-Israel.

Kelompok penyeru perdamaian sebagai satu-satunya alternatif menyelesaikan konflik Arab-Israel akan semakin terpojok dan menurunkan tingkat kepercayaan kalangan grass root mengenai efektivitas melakukan perundingan dengan Israel. Sebaliknya, ideologi Hizbullah yang mengatakan hanya dengan kekuatan senjata, konflik Arab-Israel dapat diselesaikan semakin mendapatkan pembuktian kebenarannya. Ini berarti kawasan Timur Tengah akan menghadapi perang-perang susulan.

Di sisi lain, jika Israel berhasil menginvansi Lebanon dengan meluluhlantakkan seluruh infrastruktur negeri ini, maka skenario Irak akan terulang kembali di Lebanon. Kalau skenario ini berjalan, berarti juga akan menyulut kembali maraknya aksi-aksi kekerasan dari kelompok pejuang kemerdekaan seperti di Afghanistan, Irak, dan Somalia. Lebih jauh lagi, invasi ini juga akan memperluas gerakan-gerakan sentimen anti-AS dan Israel di berbagai belahan dunia.

Ikhtisar


- Tujuan utama agresi Israel adalah menghancurkan infrastruktur masyarakat Lebanon.


- Dengan kondisi itu, masyarakat Lebanon akan menganggap Hizbullah sebagai biang kerok.


- Ikhwanul Muslimin meyakini, kekejaman Israel hanya bisa dilawan dengan senjata.


- Israel masih menyimpan dendam atas keberhasilan Hizbullah mengusir Israel dari wilayah yang didudukinya di Lebanon selatan.


- Lewat aksi brutal ini, AS juga ingin mendominasi pengaruh di Timur Tengah, setelah bisa menundukkan Irak dan Afghanistan.


- Aksi keji Israel ini akan menyulut tindak kekerasan yang berkepanjangan.

( )

Foto-foto Kekejaman Tentara Israel

Foto-foto Kekejaman Tentara Israel


Dalam Al Qur’an Allah sering mengecam kelakuan bangsa Yahudi yang sering bertindak melampaui batas. Di foto ini anda bisa menyaksikan kekejaman tentara Israel yang membantai warga Palestina tanpa pandang bulu. Wanita dan anak-anak juga mereka bantai.

“Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu.” [Al Maa-idah:62]




Anak-anak ISRAEL memberikan tanda tangan kematian untuk anak-anak LEBANON

anak Israel 2

Anak-anak kecil ISRAEL menuliskan ‘pesan’ di cangkang senjata artileri
berat. Lokasi di Kiryat Shmona, ISRAEL utara, bersebelahan dengan
perbatasan Lebanon. Senin, 17 Juli 2006

anak2israel2.jpg

(AP Photo/Sebastiian Scheiner)

…dan anak-anak LEBANON menerima-nya dengan….anak2libanon.jpg